Di Balik Konten yang Viral, Ada Jiwa yang Menjerit Diam-Diam

Di Balik Konten yang Viral, Ada Jiwa yang Menjerit Diam-Diam

Tiap sorotan lampu kamera bisa menyilaukan arah batin. Banyak dari kita terlalu sibuk tampil, sampai lupa mendengar suara hati sendiri. Media sosial telah membuka panggung luas bagi siapa saja untuk bersinar. Satu video singkat bisa mengubah hidup. Satu unggahan bisa membawa perhatian ribuan pasang mata. Tapi di balik konten yang viral, tak jarang ada jiwa yang menjerit diam-diam—terlalu letih menjaga citra, terlalu takut menghilang dari perhatian.

Kita hidup di era di mana eksistensi sering kali diukur dari jumlah views, likes, dan komentar. Ketika tidak ada yang melihat, rasanya seperti tidak ada. Ketika tidak ada yang menyukai, kita pun mulai meragukan nilai diri sendiri. Padahal, pengakuan sejati tidak datang dari luar, melainkan dari dalam—dari jiwa yang tahu bahwa dirinya layak, meski tanpa sorotan.

Kita Sibuk Tampil, Tapi Lupa Mendengar

Setiap hari, kita disuguhi konten yang serba sempurna. Senyum yang diatur, kata-kata yang dipoles, suasana yang direka. Di balik layar, banyak yang menyimpan lelah, cemas, dan rasa hampa. Tapi semua itu tertutup rapi oleh pencitraan. Kita pun ikut-ikutan. Tak ingin ketinggalan, kita sibuk menciptakan versi terbaik dari diri kita—versi yang bisa diterima dan dipuji.

Namun, ketika malam datang dan layar ponsel dimatikan, keheningan itu berbicara. Ada bagian dalam diri yang merasa kosong. Ada jiwa yang sebenarnya ingin didengar, bukan hanya ditonton. Inilah saatnya kita bertanya: Untuk siapa sebenarnya semua ini kita lakukan?

Literasi Jiwa: Kembali Mendengar Suara dari Dalam

Literasi Jiwa mengajak kita kembali mengenali bahasa jiwa—bahasa yang tenang, lembut, dan jujur. Bahasa yang tidak mencari sensasi, tapi keaslian. Saat kita berani berhenti sejenak dari hingar-bingar dunia maya, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas. Kita belajar membedakan antara eksistensi sejati dan eksistensi palsu.

Eksistensi sejati tidak butuh penonton. Ia tumbuh dari hubungan yang sehat dengan diri sendiri. Ia hadir dalam bentuk keutuhan batin, bukan keterikatan pada validasi eksternal. Ia muncul saat kita bisa duduk diam dan berkata, “Aku cukup.”

Sebelum Terlalu Jauh Meninggalkan Diri

Ada saatnya kita perlu menutup kamera, mematikan notifikasi, dan kembali mendengar. Kembali mengingat siapa kita di balik semua topeng digital. Kembali menyentuh sisi terdalam dari diri—tempat di mana kejujuran, kerentanan, dan keberanian bertemu.

Restorasi jiwa bukan tentang menolak teknologi atau eksistensi digital. Tapi tentang menemukan kembali keseimbangan antara hadir untuk dunia, dan hadir untuk diri sendiri.

Karena pada akhirnya, tak ada yang lebih melegakan dari menjadi utuh, meski tak selalu terlihat.

Share the Post:

Lanjutkan Membaca

Terhubung dengan Restorasi Jiwa

Scroll to Top